Empat abad lalu, di trotoar ini selalu teduh oleh rindang pohon Buttonwood. Tempat nenek moyangmu hai pemburu riba bertarung mengadu harga, apapun tak terkecuali budak-budak Afrika tak berlidah yang turun dari kapal beserta rantai di kedua tangan dan kakinya
empat abad lalu, di trotoar ini selalu riuh oleh transaksi, buttonwood adalah napas peradaban baru yang bebas dari kejaran upeti tuan-tuan tanah bangsawan dan raja-raja
empat abad lalu, di bawah pohon buttonwood itu nenek moyangmu hai pemburu riba bergerak tanpa letih wujudkan mimpi lama,
sejatinya manusia dilahirkan sebagai individu bebas dan setara
tentunya, kebebasan itu hanya bagi nenek moyangmu bukan bagi budak-budak afrika yang didagangkan di bawah pohon buttonwood, sebelum dikirim ke ladang-ladang gandum jagung kapas pun tembakau Virginia atau gugusan tambang, hamparan ternak yang berserak di sekujur benua baru tempat nenek moyangmu berjuang membangun impian
pun akhirnya, buttonwood tumbang menyusul ambruknya tembok pinggiran Manhattan antara Broadway dan East River, pun akhirnya, nenek moyangmu hai pemburu riba membangun benteng pertahanannya sendiri lebih kokoh dari pohon buttonwood yang riskan oleh cuaca buruk dan siklus empat musim
tak jauh dari tempat itu. Di tepi jalan bekas benteng berdiri kokoh sebuah gedung
tempat pedagang dan makelar bersekutu membangun peradaban baru tak pernah lelah
menemukan cara baru merampas nilai lebih keringat pekerja
tak jauh dari buttonwood itu kertas-kertas bertebaran tawarkan nilai lebih ke investor:
tanah-tanah pertanian; usaha pertambangan
sumursumur minyak yang mangkrak kehabisan modal. “Take,” ujar nenek moyangmu bersahutan dengan kepala bergambar mesin-mesin fosil suatu saat pasti, mengusir jutaan kuda dari jalanan penghubung pesisir timur ke pesisir barat
tak tertulis dengan pasti, kapan buttonwood mati. Namun ruhnya terus menggerayang di kepala para emiten di gedung kokoh itu
berlambang Bufallo kekar tempat pasar berjalan sempurna tanpa kendali tuan tanah dan raja-raja
setelah dua abad berlalu, kami, kaum pekerja sadar di tempat sekitar buttonwood itu, sejatinya hanya tempat bertarungnya para penjudi, diam-diam menggarong laba keringat pekerja dengan secarik kertas saham yang sesungguhnya menggerus upah kami
sesungguhnya pula, wall street tak jauh beda dari buttonwood yang dikendalikan para penipu
membangun tungku-tungku peradaban baru
tempat menggoreng keringat buruh terkapar miskin berabad-abad. Katamu takdir orang upahan
sesungguhnya pula, hai pemburu riba di wall street itu, nenek moyangmu berkongsi membangun kumpulan makelar dengan label fund manager memangsa pabrik-pabrik dengan nilai lebih palsu bersandarkan supply and demand secarik kertas dan bukan barang atau jasa yang selama tiga abad memberi kami sumber penghidupan
setelah lebih dari empat abad lamanya, nenek moyangmu wahai para pemburu riba menggarong nilai lebih keringat pekerja di wajan-wajan penggorengan wall street yang tak pernah lengang membentang perjudian, pertaruhkan nasib buruh bukan saja di benua para pemburu riba melainkan juga lewat para penjajah ke sekujur dunia yang tak pernah lelah
kalian jarah
Sejak dua dekade terakhir – terlebih setelah Covid menggigit para-paru manusia di dunia
segala platform dan skema yang kalian tawarkan berubah bencana. Kini dunia lesu,
stress menggema. “Krisis,” katamu
toh begitu, nilai lebih palsu yang terkumpul sejak penggarongan oleh nenek moyangmu wahai pemburu riba telah menggenangi tuxedomu dengan keringat yang mengalir dari lantai-lantai dansa, fitness room, selazar dugem, ruang-ruang private striptease atau berselingkuh di ranjang empuk apartemen
sehingga dunia berganti kelamin tak jelas lagi antara siang dan malam
sedangkan kami yang kalian peras siang dan malam untuk melayani standar hidupmu
seperti sapi-sapi yang kalian ternakkan bersama cowboy tentara , mengawasi kegigihan kami bekerja – menghasilkan
rupa-rupa barang dan jasa yang tak pernah mampu kami miliki dengan sepenuh jiwa
kami hanyalah pekerja yang terus bergegas
bekerja untuk membayar beragam tagihan
berjatuhan jatuh ke jurang kemiskinan
terlebih setelah corona yang menakutkan
membuat kami merana
nilai lebih palsu itu, seketika membuatmu kaya
tapi di saat yang sama kami tetap miskin
sebab uang yang kau tanam tidak lagi membutuhkan cucuran keringat pekerja
di tempat – tak jauh dari Buttonwood itu
telah membangkrutkanmu, sebab nilai lebih palsu ibarat pohonan tak punya akar, tumbang
seperti Buttonwood empat abad yang lalu
setelah empat abad lamanya kau rampas nilai lebih dari keringat kami. Kami yang terancam kelaparan haruskah berdoa untuk kebangkitanmu, membiarkanmu kembali menggarong riba ke tungku-tungku yang lebih tamak memangsa anak-anak sapi di kandang peradaban
hai kaum pekerja
dunia memang telah berganti rupa
tapi belum tentu untuk kemenangan kita
Marlin Dinamikanto Bogor, 1 Mei 2021
Discussion about this post